Wednesday, October 26, 2016

HITAM PUTIH TINGGAL KENANGAN



Hitam Putih Tinggal kenangan
 

Mendengar kata Hitam Putih, apa yang terlintas dibenak kita? Suatu program talkshow yang pembawa acaranya sedang bersitegang dengan sang motivator? Atau sebuah garis yang sering kita temui dijalan?.
Hitam dan putih memang tak kan ada habisnya untuk dibicarakan. Seperti halnya belum lama ini santer terdengar tentang kebijakan menanggalkan seragam hitam putih di lingkungan kampus Universitas PGRI Semarang. Memang, sebelumnya kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Banyak dari mahasiswa setuju akan kebijakan tersebut namun ada pula yang menolak kebijakan tersebut. Sebetulnya, rumor penghapusan kebijakan pemakaian seragam hitam putih sudah menggema sejak awal semester tahun ajaran 2016/2017. Kendati demikian, baru belakangan ini seragam hitam putih kembali memantik animo mahasiswa Universitas PGRI Semarang.
Mulai pertanggal 24 Oktober 2016, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas PGRI Semarang resmi mengeluarkan surat edaran yang menyatakan seragam hitam putih tak perlu dikenakan lagi oleh mahasiswa FIP, khususnya mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Sembilan dari sepuluh mahasiswa sangat menyayangkan tentang adanya penghapusan kebijakan pemakaian seragam hitam putih. Saya pun juga sangat menyayangkan hal tersebut. Awalnya ketika masih menyandang predikat sebagai mahasiswa baru (Maba), saya sama sekali tak setuju dengan adanya kebijakan untuk memakai pakaian seragam hitam putih yang wajib dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa kebijakan tesebut tak perlu dihapuskan. Alasannya, karena jika hitam putih dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu dalam seminggu setidaknya  dapat menghemat baju yang dikenakan. Maklum, anak kos serba hemat termasuk juga dalam menyuci baju.  Kedua, jika kebijakan tersebut tetap dihapuskan maka akan menimbulkan masalah ketimpangan sosial. Diterangai akan memunculkan batas-batas pemisah antara mahasiswa ekonomi kelas menenengah dan atas. Juga akan cepat menimbulkan perubahan fashion style culture secara cepat. Entah apa yang mendasari pihak universitas menghapuskan kebijakan pemakaian seragam hitam putih.
Kalau ada yang mengatakan intelektualitas tak dipengaruhi dengan penampilan. Iya memang benar. Karena penampilan hanya sebagai formalitas saja. Namun sangat disayangkan, membiarkan seragam hitam putih terlipat begitu saja di almari.
Sependapat dengan  Kepala UPT Pusat Humas di salah satu Universitas tetangga sebelah, beliau menyatakan  bahwa "Pengekangan tidak selalu terjadi melalui seragam. Pengekangan lebih bisa terjadi pada ‘baju bebas’. Terbentuknya grup-grup sosio-ekonomik yang kurang menguntungkan dapat terbentuk dengan identifikasi pakaian bebas yang dipakai mahasiswa. Yang berpakaian ‘glamor’ akan berkumpul dengan yang glamor. Yang berpakaian ‘bersahaja’ hanya akan berkumpul dengan yang bersahaja. Semua itu dapat dicegah dengan seragam yang diterapkan dengan peraturan yang konsisten dan sangat mudah dilaksanakan". Maka seharusnya pihak Universitas dapat lebih bijak lagi dalam pengambilan keputusan. Karena sudah seharusnya Universitas keguruan dalam menyiapkan calon guru  mesti membudayakan berdisiplin, riilnya dengan seragam hitam-putih tadi.
 Sebagai alasan seragam adalah simbol kesetaraan. Selama pelaksanaannya diatur dengan baik dan diterapkan secara konsisten, dengan adanya seragam menjadi pemersatu persahabatan mahasiswa. Yang tersisa dari  hitam putih tinggallah kisah yang  melekat dalam kenangan. Kini hitam putih pun tlah menjadi kenangan.

NB : Tulisan ini bukan semata untuk merendahkan salah satu pihak. Saya menulis atas dasar apa yang saya lihat, rasakan, dan dengar. Jika ada yang tersinggung dengan tulisan saya silakan lebih lanjut menghubungi saya. Terimakasih. 


Semarang, 26 Oktober 2016


No comments:

Post a Comment