Monday, December 26, 2016

DUNIA DAN TELOLET ALEPPO

               

Dunia dan Telolet Aleppo

 
 Setelah beberapa waktu lalu lini masa dipenuhi dengan trend Pen-Pineapple-Apple-Pen (PPAP) dan Mannequein challenge yang menghebohkan citizen dunia maya. Belakangan ini masyarakat juga dihebohkan dengan hastag #OmTeloletOm.  Jika PPAP yang dipopulerkan DJ Piko-Taro mampu menghebohkan dunia maya lewat goyangan yang disertai dengan lirik lagu sederhana yang terdiri dari tiga kata, yakni pen, pineapple dan apple, serta Mannequin challenge alias tantangan mematung seperti maneken yang diciptakan Jasmine Cavins seorang murid di Edward H White High School, Florida, Amerika Serikat. Berbeda dengan kedua trend tersebut “Om, telolet, Om” dari Indonesia lebih mampu memantik animo warga dunia lewat bunyi klakson bus.
Awal mula munculnya ‘Om, telolet, Om” berawal dari aksi anak-anak di daerah Jawa Timur dalam memburu bunyi klakson bus yang terdengar telolet dan merekamnya dengan telepon seluler. Hingga akhirnya menjadi viral setelah bocah-bocah di kawasan Kabupaten Jepara beramai-ramai meminta bunyi klakson kepada bus-bus besar yang lewat dengan meneriakkan “Om, telolet, Om!”.
       Dengan kemajuan teknologi, seketika bunyi klakson bus tersebut menjadi viral. Tak hanya di dunia maya namun juga menyebar ke seluruh dunia. Seperti virus yang menyebar dengan cepat, warga dunia seakan juga ikut latah dengan adanya demam “Om, telolet, Om”. Terbukti tak hanya warga Indonesia, bahkan musisi kelas dunia seperti DJ Zedd, DJ Snake dan Marshmallow yang namanya tak asing lagi di genre Electronic Dance Music (EDM) juga berkicau “Om, telolet, Om” tanpa tahu artinya. Tak hanya sebatas itu, duo DJ dan Produser musik EDM Firebeatz bahkan memadukan bunyi klakson bus dengan musik elektronik di akun instagramnya @firebeatz yang sudah ditonton lebih dari satu juta kali pasang mata.
        Fenomena “Om, telolet, Om” setidaknya mampu meredam isu-isu sara yang belakangan ini menyulut sumbu panas  perpolitikan Indonesia. Namun, terlepas dari euforia klakson bus, hati nurani kita patut dipertanyakan. Bagaimana tidak? Suara jerit tangis anak-anak yang tak berdosa di Aleppo seolah terkalahkan oleh suara klakson bus.Dalilnya, warga dunia lebih atensi tehadap klakson bus  ketimbang pekikan jiwa warga Aleppo. Terlebih di luar sana, ada jutaan anak Adam yang memekikkan suaranya ke langit Aleppo menahan serangan dari Rezim Bashar Assad dan sekutunya.
     Nampak miris memang. Jika suara sesederhana klakson  bus “Om, telolet, Om” mampu menjadi bahan gelak tawa bahagia bagi anak-anak Indonesia dan bahkan warga dunia. Namun ironisnya hal tersebut tak berlaku bagi jutaan anak-anak Aleppo. Mereka acap kali dominan mendengar suara dentuman bom yang membombardir kawasan pemukiman warga Aleppo dan juga mendengar suara jerit tangis warga sipil yang kehilangan nyawa keluarganya  yang terbantai dalam serbuan tembakan dan bom daripada mendengar suara bahagia klakson bus.
Seharunya telinga dunia tak tuli dengan suara jeritan warga sipil Aleppo terlebih lagi tangisan anak-anak Aleppo yang tak berdosa serta tidak terlarut dalam bisingan hastag #OmTeloletOm.         Semoga saja segera mungkin #OmAleppoOm mampu mengalahkan ketenaran hastag  #OmTeloletOm. Serta mampu menyaringkan gendang telinga dunia. Semoga saja. (*)

Demak, 27 Desember 2016
07.09

Wednesday, October 26, 2016

HITAM PUTIH TINGGAL KENANGAN



Hitam Putih Tinggal kenangan
 

Mendengar kata Hitam Putih, apa yang terlintas dibenak kita? Suatu program talkshow yang pembawa acaranya sedang bersitegang dengan sang motivator? Atau sebuah garis yang sering kita temui dijalan?.
Hitam dan putih memang tak kan ada habisnya untuk dibicarakan. Seperti halnya belum lama ini santer terdengar tentang kebijakan menanggalkan seragam hitam putih di lingkungan kampus Universitas PGRI Semarang. Memang, sebelumnya kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Banyak dari mahasiswa setuju akan kebijakan tersebut namun ada pula yang menolak kebijakan tersebut. Sebetulnya, rumor penghapusan kebijakan pemakaian seragam hitam putih sudah menggema sejak awal semester tahun ajaran 2016/2017. Kendati demikian, baru belakangan ini seragam hitam putih kembali memantik animo mahasiswa Universitas PGRI Semarang.
Mulai pertanggal 24 Oktober 2016, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas PGRI Semarang resmi mengeluarkan surat edaran yang menyatakan seragam hitam putih tak perlu dikenakan lagi oleh mahasiswa FIP, khususnya mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Sembilan dari sepuluh mahasiswa sangat menyayangkan tentang adanya penghapusan kebijakan pemakaian seragam hitam putih. Saya pun juga sangat menyayangkan hal tersebut. Awalnya ketika masih menyandang predikat sebagai mahasiswa baru (Maba), saya sama sekali tak setuju dengan adanya kebijakan untuk memakai pakaian seragam hitam putih yang wajib dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa kebijakan tesebut tak perlu dihapuskan. Alasannya, karena jika hitam putih dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu dalam seminggu setidaknya  dapat menghemat baju yang dikenakan. Maklum, anak kos serba hemat termasuk juga dalam menyuci baju.  Kedua, jika kebijakan tersebut tetap dihapuskan maka akan menimbulkan masalah ketimpangan sosial. Diterangai akan memunculkan batas-batas pemisah antara mahasiswa ekonomi kelas menenengah dan atas. Juga akan cepat menimbulkan perubahan fashion style culture secara cepat. Entah apa yang mendasari pihak universitas menghapuskan kebijakan pemakaian seragam hitam putih.
Kalau ada yang mengatakan intelektualitas tak dipengaruhi dengan penampilan. Iya memang benar. Karena penampilan hanya sebagai formalitas saja. Namun sangat disayangkan, membiarkan seragam hitam putih terlipat begitu saja di almari.
Sependapat dengan  Kepala UPT Pusat Humas di salah satu Universitas tetangga sebelah, beliau menyatakan  bahwa "Pengekangan tidak selalu terjadi melalui seragam. Pengekangan lebih bisa terjadi pada ‘baju bebas’. Terbentuknya grup-grup sosio-ekonomik yang kurang menguntungkan dapat terbentuk dengan identifikasi pakaian bebas yang dipakai mahasiswa. Yang berpakaian ‘glamor’ akan berkumpul dengan yang glamor. Yang berpakaian ‘bersahaja’ hanya akan berkumpul dengan yang bersahaja. Semua itu dapat dicegah dengan seragam yang diterapkan dengan peraturan yang konsisten dan sangat mudah dilaksanakan". Maka seharusnya pihak Universitas dapat lebih bijak lagi dalam pengambilan keputusan. Karena sudah seharusnya Universitas keguruan dalam menyiapkan calon guru  mesti membudayakan berdisiplin, riilnya dengan seragam hitam-putih tadi.
 Sebagai alasan seragam adalah simbol kesetaraan. Selama pelaksanaannya diatur dengan baik dan diterapkan secara konsisten, dengan adanya seragam menjadi pemersatu persahabatan mahasiswa. Yang tersisa dari  hitam putih tinggallah kisah yang  melekat dalam kenangan. Kini hitam putih pun tlah menjadi kenangan.

NB : Tulisan ini bukan semata untuk merendahkan salah satu pihak. Saya menulis atas dasar apa yang saya lihat, rasakan, dan dengar. Jika ada yang tersinggung dengan tulisan saya silakan lebih lanjut menghubungi saya. Terimakasih. 


Semarang, 26 Oktober 2016


Monday, October 10, 2016

ANTARA DUIT DAN PILIHAN NURANI



Antara Duit dan Pilihan Nurani



 


Berbicara mengenai politik ada banyak hal yang tak habisnya untuk dibahas. Mulai dari seluk beluk politik hingga permasalahan-permasalahannya. Politik sendiri merupakan suatu cara untuk mempengaruhi seseorang. Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya (S. Sumarsono, dkk. 2001 : 137). Biasanya politik  berhubungan dengan suatu pemerintahan.  Melingkupi semua lapisan masyarakat. Dari metropolitan hingga ke pelosok negeri  semua berbau politik. Hingga ranah pemilihan kepala desa juga tercium aroma politik.
Berkenaan dengan pemilihan kepala desa (pilkades), ada hal yang menarik untuk dibicarakan. Terkait dengan cara calon kepala desa atau calon lurah dalam berpolitik. Mengingat masa jabatan kepala desa sendiri adalah 6 (enam) tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk 3 (tiga) kali masa jabatan berikutnya berturut-turut ataupun tidak, maka setiap calon sudah dipastikan mempunyai cara atau strategi tersendiri dalam berpolitik. Semua cara akan dilakukan untuk merebut kursi kepemimpinan. Termasuk kemungkinan besar menghalalkan black campaign atau kampanye hitam. Masyarakat diiming- imingi dengan berbagai janji-janji palsu dan tersawerkan oleh lembaran-lembaran uang. Tidak sedikit ditemukan praktik kampanye hitam dalam pilkades. Seperti halnya di Desa Ngelowetan yang pada 9 Oktober 2016 melaksanakan pilkades juga ditemukan praktik money politic. Setiap kandidat lurah memberikan uang kepada masyarakat. Ada dua kandidat yang bertarung memperebutkan kursi kepala desa dalam pilkades tersebut. Kandidat nomor 1 dan kandidat nomor 2. Nilai nominal uang yang diberikan oleh masing-masing kandidat adalah 1:2. Praktik kampanye hitam seperti money politic sudah menjadi budaya tersendiri dalam pilkades. Terbukti tidak hanya di Desa Ngelowetan saja, namun juga di desa tetangga sebelah ditemukan praktik yang sama. Bahkan sampai ada undian sepeda montornya.
Seharusnya budaya kampanye hitam money politic tersebut dapat dihilangkan. Sayangnya praktik tersebut seakan sudah mengakar di masyarakat. Masyarakat terlanjur terdoktrin dengan adanya money politic. Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa money politic adalah sebagai “upah” dalam memberikan hak pilih suara. Tak ada duit tak jadi pilih. Antara duit dan pilihan nurani dipertaruhkan.
Namun, untungnya sebagian besar masyarakat Desa Ngelowetan masih menggunakan nuraninya dalam memberikan hak pilih suaranya. Hal itu dapat dibuktikan dari perolehan hasil perhitungan suara. Kandidat nomor 1 lebih unggul dari kandidat nomor 2. Walaupun uang yang diberikan oleh kandidat nomor 1 lebih sedikit, setidaknya masyarakat Desa Ngelowetan masih menggunakan nurani dan akalnya dalam menentukan pemimpinnya dalam masa 6 tahun yang akan datang.

Semarang, 10 Oktober 2016
23.25

 
*suasana pilkades