Sunday, March 25, 2018

PENDIDIKAN KARAKTER DI BALIK BUDAYA CIUM TANGAN


Pendidikan Karakter di Balik Budaya Cium Tangan
   

Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun. Bahkan predikat tersebut menjadi cermin kepribadian bangsa Indonesia di mata dunia Internasional. Seiring berjalannya waktu, arus globalisasi membuat budaya orang timur bangsa Indonesia mulai hilang perlahan. Karakter anak bangsa mulai dipertanyakan. Diperkuat pula dengan digencarkannya pendidikan karakter. Dewasa ini karakter menjadi tameng bagi generasi bangsa untuk membentengi dari pengaruh-pengaruh luar sebagai imbas dari arus globalisasi.
Dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter (PPK) memperjelas diperlukannya pendidikan karakter dalam membangun karakter anak bangsa yang mulai terkikis dan sebagai upaya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional  pada Pasal 3.
Menurut Muslich (2011:75), pendidikan karakter adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan bangsa.
Fakta yang ada di lapangan memaparkan karakter pelajar Indonesia masih jauh dari penguatan pendidikan karakter seperti yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam Nawacita. Sekarang ini karakter pelajar Indonesia sedang mendapat sorotan tajam dari beberapa kalangan. Memudarnya karakter di kalangan generasi penerus bangsa menjadi ironi tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Thomas Lickona seorang profesor pendidikan dari Cortland University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai salah satunya adalah semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. Hal tersebut dibenarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. Seperti dilansir Merdeka.com (19/11/2017) beliau menyatakan bahwa ada gejala memudarnya marwah dan wibawa para guru, serta memudarnya  rasa hormat kepada guru dari pihak murid.
Di awal  2018, PPK yang digadang-gadang dapat membentengi dari arus globalisasi telah ternodai dengan sederet kasus-kasus penganiayaan guru oleh siswanya sendiri. Yang ranahnya mulai dari kenakalan biasa hingga mengarah tindak pidana pembunuhan. Seperti dilansir Detik.com (02/02/2018) tindak penganiayaan oleh siswa dialami seorang guru SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur hingga meninggal dunia. Selang beberapa hari kasus yang hampir serupa kembali terjadi. Kali ini seperti diberitakan Tribunnews.com (05/02/2018) dalam video viral, terlihat seorang siswa MTS Krenceng Purbalingga yang mengajak duel gurunya.
Terlihat betapa kemrosotan karakrer di kalangan murid era zaman milenal atau yang istilah bekennya kids zaman now yang sama sekali tak menaruh rasa hormat terhadap guru. Ironis memang, ditengah upaya mengaktualisasikan PPK sebagai upaya nyata dari program Revolusi Mental yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi-JK malah seketika tercoreng dengan adanya kasus-kasus tersebut. Padahal guru merupakan orang tua kedua setelah orang tua di rumah. Sudah sepatutnya mendapat penghormatan atas jasa dan ilmu yang telah diberikan kepada kita. Dari seorang guru lah seseorang yang mulanya tidak tahu akan suatu hal berubah menjadi tahu. Tidak pantas jika guru mendapat perlakuan yang merugikan atau bahkan hingga kehilangan nyawa oleh siswanya sendiri.
Sederet kasus penganiayaan guru oleh siswa menandakan adanya salah satu bentuk karakter yang hilang. Nampaknya respect atau bentuk karakter murid untuk selalu menghargai dan menghormati guru telah memudar. Abu Su’ud (2011) menyatakan bahwa pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.  Keteladanan dalam penerapan pendidikan karakter pada masing-masing lingkungan pendidikan, dan berlangsung melalui pembiasaan dan sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-hari. (Perpres No. 87 Tahun 2017 pasal 5). Pendidikan karakter dapat diterapkan melalui pembiasaan dengan mengembangkan nilai-nilai budaya luur bangsa Indonesia khususnya di lingkungan sekolah.
Barbara Luther dalam (Lickona:137) mengatakan bahwa “Jika Anda ingin para murid bersikap hormat, Anda harus memberi teladan sikap hormat. Anda tidak dapat mengajarkan yang tidak Anda lakukan”. Agar pendidikan karakter tidak terdegradasi diperlukan adanya upaya untuk membangun ikatan-ikatan dan peneladanan karakter dalam bentuk tindakan nyata pembiasaan peneladanan karakter. Pembiasaan tersebut dapat dimulai dengan menerapkan desain Tri Konsep Bina Siswa di sekolah-sekolah. Desain pendidikan ini merupakan strategi menyikapi gempuran perubahan pendidikan yang mengglobal. Karena desain Tri Konsep Bina siswa mencakup tiga konsep pembinaan yang menjadi satu kesatuan yang meliputi pembinaan intelektual, potensi serta akhlak dan mental siswa.
Salah satu bentuk konsep dalam desain Tri Konsep Bina Siswa adalah jabat tangan dan mencium tangan. Meminjam istilah dari Rachmadiana (2004:33-44) dalam penelitiannya, mencium tangan dapat diartikan sebagai suatu gerakan menghirup sesuatu (tangan) dengan hidung atau melekatkan hidung pada tangan. Gerakan / aktivitas ini merupakan suatu jenis ungkapan sopan santun dan penghormatan terhadap orang lain (lebih tua atau lebih berkuasa).
Aristoteles mengatakan bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus-menerus dilakukan. Maka dari itu untuk membentuk karakter murid agar hormat dengan guru diperlukan pembiasaan dalam menerapkan nilai sopan santun kepada guru dengan cara mengadakan budaya salam pagi dan cium tangan sepulang sekolah. Pembiasaan peneladan karakter dapat dilakukan dengan guru berdiri di pintu dan menyalami semua murid sewaktu mereka memasuki ruang kelas. Efek yang ditimbulkan dari bersalaman dalam tenggat waktu bebera detik membuat hubungan langsung, bermakna, dan pribadi dengan murid. Sementara itu, Charlie Abourjilie dalam (Lickona:141) mengatakan bahwa kekuatan dari jabat tangan lainnya adalah telah mengakhiri peperangan dan persekutuan yang kuat.
Komponen karakter yang terkandung dalam budaya cium tangan adalah moral knowing atau pengetahuan moral. Moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan moral. Karena dalam moral knowing, dengan murid mencium tangan guru dapat menekankan kesadaran bahwa guru sebagai orang tua harus dihormati. Dalam moral knowing adanya ikatan sentuhan tangan murid dan guru memungkinkan murid mampu untuk mengontrol diri atau self control.  Dan sebagai bentuk moral action murid mampu mewujudkan tindakan nyata dalam menghormati guru.
Namun kenyataan yang ada saat ini beberapa sebagian dari kita menganggap masalah budaya cium tangan adalah hal sepele. Kadang terabaikan, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan dewasa. Umumnya, jika anak-anak bertemu dengan orangtua dan gurunya, dia hanya mengucapkan salam, bahkan terkadang mereka tidak pernah mengucapkannya sama sekali. Perlu diketahui bahwa perbuatan mencium tangan guru adalah bentuk suatu simbol kesopanan dalam menghormati guru. Dengan murid menaruh rasa hormat terhadap guru, akan menimbulkan rasa respect dan segan untuk melakukan tindak kekerasan. Harapannya dengan menerapkan nilai sopan santun murid terhadap guru dapat meminimalisir adanya kasus-kasus penganiayaan seperti yang telah terjadi. Cium tangan suatu budaya yang amat sederhana namun begitu bermakna. Budaya cium tangan dirasa cukup mampu untuk menumbuhkan kembali sikap sopan santun murid terhadap guru. Dengan begitu, murid menaruh rasa hormat dan akan memperkecil tindakan penganiayaan oleh murid terhadap gurunya. Karena pendidikan tidak bisa dilepaskan dari karakter dan budaya. Dengan generasi berkarakter maka akan menjadikan generasi yang berdaya saing.



DAFTAR PUSTAKA
Racmadiana, Metta. 2004. Mencium Tangan dan Membungkukan Badan. Fakultas Pskikologi  Universitas Ahmad Dalan : Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal Vol.1 No.2 Agustus 2004:33-44.
Su’ud, Abu, dkk. 2011. Pendidikan Karakter. Semarang : IKIP PGRI Semarang
Muslim, Abdul Azis. 06 Februari, 2018. Fenomena Gunung Es Kekerasan di Sekolah. Tribun Jateng, hlm. 2.
Edy, Catur Waskito. 06 Februari, 2018. Orangtua dan Guru. Tribun Jateng, hlm. 2.
Jajeli, Rois. 02 Februari 2018. Guru SMA di Sampang, Madura Tewas Diduga karena Dianiaya Siswa. (Online), (www.news.detik.com, diakses 18 Februari 2018).
Muzakki, Khoirul. 05 Februari 2018. Siswa MTS Maarif Purbalingga yang Buka Baju Tantang Gurunya Ternyata Famili Kepala Sekolah. (Online), (www.tribunnews.com, diakses 18 Februari 2018).
Kesuma, Dharma,dkk. 2011. Pendidikan Karakter. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Lickona, Thomas. 2004. Pendidikan Karakter. Terjemahan oleh Saut Pasaribu. 2012. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter : Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Aqib, Zainal, Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung : Yrama Widya.

Semarang, 25 Maret 2018

Terpublikasikan di Majalah Vokal  Edisi 37 / Tahun 2018