Pendidikan Karakter di Balik Budaya Cium Tangan
Bangsa Indonesia sejak dulu
dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun. Bahkan predikat tersebut menjadi
cermin kepribadian bangsa Indonesia di mata dunia Internasional. Seiring
berjalannya waktu, arus globalisasi membuat budaya orang timur bangsa Indonesia
mulai hilang perlahan. Karakter anak bangsa mulai dipertanyakan. Diperkuat pula
dengan digencarkannya pendidikan karakter. Dewasa ini karakter menjadi tameng
bagi generasi bangsa untuk membentengi dari pengaruh-pengaruh luar sebagai
imbas dari arus globalisasi.
Dikeluarkannya Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter
(PPK) memperjelas diperlukannya pendidikan karakter dalam membangun karakter
anak bangsa yang mulai terkikis dan sebagai upaya dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3.
Menurut Muslich (2011:75),
pendidikan karakter adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang
dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Karakter
bangsa merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia karena
kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan bangsa.
Fakta yang ada di lapangan
memaparkan karakter pelajar Indonesia masih jauh dari penguatan pendidikan
karakter seperti yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam Nawacita. Sekarang
ini karakter pelajar Indonesia sedang mendapat sorotan tajam dari beberapa
kalangan. Memudarnya karakter di kalangan generasi penerus bangsa menjadi ironi
tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Thomas Lickona seorang
profesor pendidikan dari Cortland University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh
tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai salah satunya adalah semakin rendahnya
rasa hormat kepada orang tua dan guru. Hal tersebut dibenarkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. Seperti dilansir
Merdeka.com (19/11/2017) beliau menyatakan bahwa ada gejala memudarnya marwah
dan wibawa para guru, serta memudarnya rasa hormat kepada guru dari pihak
murid.
Di awal 2018, PPK yang
digadang-gadang dapat membentengi dari arus globalisasi telah ternodai dengan
sederet kasus-kasus penganiayaan guru oleh siswanya sendiri. Yang ranahnya
mulai dari kenakalan biasa hingga mengarah tindak pidana pembunuhan. Seperti dilansir
Detik.com (02/02/2018) tindak penganiayaan oleh siswa dialami seorang guru SMA
Negeri 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur hingga meninggal dunia. Selang
beberapa hari kasus yang hampir serupa kembali terjadi. Kali ini seperti
diberitakan Tribunnews.com (05/02/2018) dalam video viral, terlihat seorang
siswa MTS Krenceng Purbalingga yang mengajak duel gurunya.
Terlihat betapa kemrosotan
karakrer di kalangan murid era zaman milenal atau yang istilah bekennya kids
zaman now yang sama sekali tak menaruh rasa hormat terhadap guru. Ironis
memang, ditengah upaya mengaktualisasikan PPK sebagai upaya nyata dari program
Revolusi Mental yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi-JK malah seketika
tercoreng dengan adanya kasus-kasus tersebut. Padahal guru merupakan orang tua
kedua setelah orang tua di rumah. Sudah sepatutnya mendapat penghormatan atas
jasa dan ilmu yang telah diberikan kepada kita. Dari seorang guru lah seseorang
yang mulanya tidak tahu akan suatu hal berubah menjadi tahu. Tidak pantas jika guru
mendapat perlakuan yang merugikan atau bahkan hingga kehilangan nyawa oleh
siswanya sendiri.
Sederet kasus penganiayaan
guru oleh siswa menandakan adanya salah satu bentuk karakter yang hilang.
Nampaknya respect atau bentuk karakter murid untuk selalu menghargai dan
menghormati guru telah memudar. Abu Su’ud (2011) menyatakan bahwa pendidikan
budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau
kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang
berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan
nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Keteladanan
dalam penerapan pendidikan karakter pada masing-masing lingkungan pendidikan,
dan berlangsung melalui pembiasaan dan sepanjang waktu dalam kehidupan
sehari-hari. (Perpres No. 87 Tahun 2017 pasal 5). Pendidikan karakter dapat
diterapkan melalui pembiasaan dengan mengembangkan nilai-nilai budaya luur
bangsa Indonesia khususnya di lingkungan sekolah.
Barbara Luther dalam
(Lickona:137) mengatakan bahwa “Jika Anda ingin para murid bersikap hormat,
Anda harus memberi teladan sikap hormat. Anda tidak dapat mengajarkan yang
tidak Anda lakukan”. Agar pendidikan karakter tidak terdegradasi diperlukan
adanya upaya untuk membangun ikatan-ikatan dan peneladanan karakter dalam
bentuk tindakan nyata pembiasaan peneladanan karakter. Pembiasaan tersebut
dapat dimulai dengan menerapkan desain Tri Konsep Bina Siswa di
sekolah-sekolah. Desain pendidikan ini merupakan strategi menyikapi gempuran
perubahan pendidikan yang mengglobal. Karena desain Tri Konsep Bina siswa
mencakup tiga konsep pembinaan yang menjadi satu kesatuan yang meliputi
pembinaan intelektual, potensi serta akhlak dan mental siswa.
Salah satu bentuk konsep dalam
desain Tri Konsep Bina Siswa adalah jabat tangan dan mencium tangan. Meminjam
istilah dari Rachmadiana (2004:33-44) dalam penelitiannya, mencium tangan dapat
diartikan sebagai suatu gerakan menghirup sesuatu (tangan) dengan hidung atau
melekatkan hidung pada tangan. Gerakan / aktivitas ini merupakan suatu jenis
ungkapan sopan santun dan penghormatan terhadap orang lain (lebih tua atau
lebih berkuasa).
Aristoteles mengatakan bahwa
karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus-menerus
dilakukan. Maka dari itu untuk membentuk karakter murid agar hormat dengan guru
diperlukan pembiasaan dalam menerapkan nilai sopan santun kepada guru dengan cara
mengadakan budaya salam pagi dan cium tangan sepulang sekolah. Pembiasaan
peneladan karakter dapat dilakukan dengan guru berdiri di pintu dan menyalami
semua murid sewaktu mereka memasuki ruang kelas. Efek yang ditimbulkan dari
bersalaman dalam tenggat waktu bebera detik membuat hubungan langsung,
bermakna, dan pribadi dengan murid. Sementara itu, Charlie Abourjilie dalam
(Lickona:141) mengatakan bahwa kekuatan dari jabat tangan lainnya adalah telah
mengakhiri peperangan dan persekutuan yang kuat.
Komponen karakter yang
terkandung dalam budaya cium tangan adalah moral knowing atau pengetahuan
moral. Moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau
perbuatan moral. Karena dalam moral knowing, dengan murid mencium tangan guru
dapat menekankan kesadaran bahwa guru sebagai orang tua harus dihormati. Dalam
moral knowing adanya ikatan sentuhan tangan murid dan guru memungkinkan murid
mampu untuk mengontrol diri atau self control. Dan sebagai bentuk moral
action murid mampu mewujudkan tindakan nyata dalam menghormati guru.
Namun kenyataan yang ada saat ini beberapa
sebagian dari kita menganggap masalah budaya cium tangan adalah hal sepele.
Kadang terabaikan, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan dewasa. Umumnya,
jika anak-anak bertemu dengan orangtua dan gurunya, dia hanya mengucapkan
salam, bahkan terkadang mereka tidak pernah mengucapkannya sama sekali. Perlu
diketahui bahwa perbuatan mencium tangan guru adalah bentuk suatu simbol
kesopanan dalam menghormati guru. Dengan murid menaruh rasa hormat terhadap
guru, akan menimbulkan rasa respect dan segan untuk melakukan tindak kekerasan.
Harapannya dengan menerapkan nilai sopan santun murid terhadap guru dapat
meminimalisir adanya kasus-kasus penganiayaan seperti yang telah terjadi. Cium
tangan suatu budaya yang amat sederhana namun begitu bermakna. Budaya cium
tangan dirasa cukup mampu untuk menumbuhkan kembali sikap sopan santun murid
terhadap guru. Dengan begitu, murid menaruh rasa hormat dan akan memperkecil
tindakan penganiayaan oleh murid terhadap gurunya. Karena pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari karakter dan budaya. Dengan generasi berkarakter maka akan
menjadikan generasi yang berdaya saing.
DAFTAR PUSTAKA
Racmadiana, Metta. 2004.
Mencium Tangan dan Membungkukan Badan. Fakultas Pskikologi Universitas
Ahmad Dalan : Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal Vol.1 No.2 Agustus
2004:33-44.
Su’ud, Abu, dkk. 2011. Pendidikan Karakter. Semarang : IKIP PGRI Semarang
Muslim, Abdul Azis. 06
Februari, 2018. Fenomena Gunung Es Kekerasan di Sekolah. Tribun Jateng, hlm. 2.
Edy, Catur Waskito. 06 Februari, 2018. Orangtua dan Guru. Tribun Jateng,
hlm. 2.
Jajeli, Rois. 02 Februari
2018. Guru SMA di Sampang, Madura Tewas Diduga karena Dianiaya Siswa. (Online),
(www.news.detik.com, diakses 18 Februari 2018).
Muzakki, Khoirul. 05
Februari 2018. Siswa MTS Maarif Purbalingga yang Buka Baju Tantang Gurunya Ternyata
Famili Kepala Sekolah. (Online), (www.tribunnews.com, diakses 18 Februari
2018).
Kesuma, Dharma,dkk. 2011. Pendidikan Karakter. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Lickona, Thomas. 2004.
Pendidikan Karakter. Terjemahan oleh Saut Pasaribu. 2012. Yogyakarta : Kreasi
Wacana.
Muslich, Masnur. 2011.
Pendidikan Karakter : Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta : PT
Bumi Aksara.
Aqib, Zainal, Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung
: Yrama Widya.
Semarang, 25 Maret 2018
Terpublikasikan di Majalah Vokal Edisi 37 / Tahun 2018