Imbas
Globalisasi terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat
Seiring berkembangnya jaman, muncul istilah revolusi yang mencakup semua
bidang yang ada di masyarakat. Revolusi dapat direncanakan atau tanpa
direncanakan terlebih dahulu (Y. Sri Pujiastuti, dkk. 2006 : 34). Hal tersebut
menimbulkan adanya globalisasi. Globalisasi adalah proses mendunia yang
dimotivasi oleh kesadaran hidup sebagai masyarakat satu bumi atau satu dunia
seolah tidak mengenal batas wilayah. (Yulia Ramawati,dkk. 2011 : 340).
Benih-benih globalisasi telah
tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000
dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Cina dan India mulai menelusuri negeri
lain, baik melalui jalan darat (jalur sutera) maupun jalan laut untuk
berdagang. Pada zaman itu, jarak yang jauh antara saru negara dan negara lain
menjadi masalah dalam berkomunikasi. Alat komunikasi dan trasnportasi sangat
terbatas sehingga hubungan manusia antartiap negara juga terbatas. Perkembangan
luar biasa terjadi diawali dengan adanya revolusi industri di Inggris, yang
kemudian diikuti perkembangan di bidang-bidang lain, termasuk bidang komunikasi
dan transportasi.
Dengan adanya globalisasi
mengakibatkan adanya pengaruh perubahan sosial. Pengaruh tersebut dalam bentuk
modernisasi dan westernisasi.
Modernisasi adalah proses yang
ditempuh untuk sampai atau menuju periose “masa kini” tersebut (Janu
Murdiyatmoko : 13). Menurut Soejano Soekanto modernisasi adalah suatu bentuk
perubahan sosial yang terarah (directed
change) yang didasarkan pada suatu
perencanaan yang disebut social
planning. Salah satu ciri khas yang menandai adanya modernisasi adalah
menjamurnya mal-mal dan pusat perbelanjaan sebagai akibat budaya konsumtif
masyarakat. Dan jika dulunya untuk menjangkau orang yang berada jauh harus
terlebih dahulu mengirimkan pesan menggunakan surat yang cukup memakan waktu
yang lama, dengan adanya modernisasi hal itu berubah dengan memerlukan waktu
yang singkat dengan menggunakan
smartphone atau telepon pintar.
Globalisasi juga menimbulkan
sifat kebarat-baratan (westerinisasi) di
masyarakat. Westernisasi merupakan
proses pengambilalihan unsur budaya Barat tanpa melakukan seleksi. (Nana Supriatna, dkk. 2006).
Globalisasi
memiliki dua sisi mata uang (positif dan negatif) yang dapat terindikasikan menjadi
penyebab infiltrasi budaya tidak terbendung. Budaya-budaya sedemikian cepat dan
mudah saling bertukar tempat dan saling memengaruhi satu sama lain. Termasuk
budaya hidup barat yang liberal dan bebas merasuki budaya ketimuran yang lebih
cenderung teratur dan terpelihara oleh nilai-nilai agama.
Dampak
negatif dari arus globalisasi yang terlihat miris adalah perubahan yang
cenderung mengarah pada krisis moral dan akhlak, sehingga menimbulkan sejumlah
permasalahan kompleks melanda negeri ini akibat moral. Dapat di contohkan mulai
dari hal kecil seperti anak-anak sekolah yang membolos pada jam pelajaran,
sampai dengan korupsi. Serta sangat
berpengaruh kaitannya dengan interaksi, budaya dan religiositas masyarakat.
Interaksi Sosial
Hal yang patut mendapat
perhatian khusus akibat dari adanya globalisasi adalah memudarnya interaksi
antara masyarakat satu dengan yang lainnya. Dewasa kini manusia lebih memilih
hidup secara individualis ketimbang hidup bersosial. Dengan beranggapan bahwa mereka
dapat hidup sendiri dengan alibi adanya kecanggihan teknologi. Seperti halnya
ketika sekelompok orang berkumpul. Fisik mereka memang secara jelas terlihat
berada pada satu tempat, namun fikiran dan jiwa mereka terpisah karena mereka
terlalu asik dengan gadget mereka dan
malah mengabaikan antara satu dengan yang lainnya. Masyarakatt di era 20-an
saat ini menjadi manusia merunduk. Mereka lebih memilih memusatkan perhatiannya
ke gadget ketimbang berinteraksi
dengan lingkungan sekitar. Ada banyak
hal yang menunjukkan meredupnya nilai interaksi di masyarakat. Budaya saling
sapa pun ketika di jalan seolah terabaikan, karena masyarakat memilih peduli
dengan gadgetnya daripada dengan orang disekitarnya.
Budaya
Dengan adanya globalisasi
mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai budaya dalam masyrakat. Hal itu tampak
jelas dengan munculnya budaya baru fenomena mengunggah foto makanan sebelum disantap dan diunggah ke
media sosial seperti instagram, twitter,
facebook, path dan sebagainya.
Hal tersebut dapat mengacu pada definisi luas kebudayaan,
yaitu seluruh sistem, gagasan, rasa, dan tindakan, serta karya yang dihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1996). Tak heran jika terlihat beberapa orang
di setiap tempat makan atau restoran memfoto makanan ketika baru disajikan
ataupun setelah habis dimakan. Fenomena ini mengubah persepsi makanan yang tadinya untuk mengisi
perut menjadi obyek yang ingin diperlihatkan kepada publik di ranah media
sosial.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas
yang dilakukan pada 21-23 Oktober 2015 menunjukkan, sebanyak 136 dari 593
responden di 12 kota di Indonesia mengaku pernah mengunggah foto makanan di
media sosial. Sebagian besar (67,6 persen) di antaranya perempuan.
Fenomena tersebut sebagai akibat dari adanya globlisasi yang dengan jelas
menyebabkan terkikisnya budaya ketimuran masyarakat Indonesia. Jika dulu sebelum
makan dianjurkan untuk berdoa terlbih dahulu, lain halnya dengan sekarang
rasanya kurang afdol jika belum memfoto makanan sebelum menyantapnya.
Religiositas
Tak hanya itu, baru-baru ini
masyarakat sedang digemparkan dengan meroketnya game Pokemon Go yang merupakan permainan berbasis augmented-reality. Permainan tersebut sedang menjadi primadona dikalangan
anak muda terlebih lagi para gamers karena
berbeda dari game kebanyakan.
Selain menggabungkan objek 3D
dengan lokasi di dunia nyata, permainan ini juga mendorong aktivitas fisik
pemain. Karena untuk bisa menangkap monster Pokemon, pemain harus bergerak
wara-wiri memburunya ke sejumlah lokasi. Di balik popularitasnya, saat ini
Pokemon Go masih menuai pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang setuju dengan
kehadirannya, namun ada juga yang menolak. Masing-masing memiliki alasan
sendiri.
Jika
fenomena Pokemon Go serta merta dibiarkan, bisa saja menjelma menjadi problem
perkotaan. Yang menjadi kontra akan Pokemon Go adalah masalah religiositas.
Karena dalam permainan tersebut ada
beberapa lokasi yang dijadikan Pokestop atau tempat para pemain
mendapatkan item seperi Pokeball untuk menangkap Pokemon dan sebagainya. Di
Indonesia, Pokestop dimonumentasikan di banyak tempat publik. Menariknya, selain
sekolah dan patung/tugu, Pokestop juga berlokasi di rumah ibadah.
Hal
tersebut menunjukkan meluruhnya religiositas masyarakat dengan dianggap remehnya
norma agama. Serta menimbulkan definisi baru bahwa rumah ibadah bukan hanya
sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah namun juga dapat dijadikan sebagai
alam permainan. Bukannya beribadah malah menduakan Tuhan dengan permainan
ciptaan manusia.
Menyangkut
hal tersebut perlu adanya sikap yang harus dimiliki dalam menghadapi
globalisasi. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan memegang tegung norma agama dan nasionalisme, optimis, memperluas
wawasan budaya, menguasai bahasa asing, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki kecakapan atau kompetensi hidup agar mampu bersaing,
mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan supremasi hukum dalam arti
yang sebenar-benarnya, dan yang paling penting adalah selektif terhadap
pengaruh globalisasi di berbagai bidang.
Referensi :
Supriyatno, Udji Kayang Aditya.
2016. Simulakra Pokemon dan Monumentasi
Religiositas. Surat kabar Tribun Jateng
Pujiastuti, Y. Sri., dkk.
2007. IPS Terpadu 3A untuk SMP dan Mts kelas IX Semester 1.2006 Jakarta:
PT. Erlangga
Darmawaty, Yulia, dan Achmad Djamil. 2011. Buku Saku Sosiologi SMA. Jakarta: PT. Kawan Pustaka
Murdiyatmoko, Janu. Sosiologi
: Memahami dan Mengkaji Masyarakat untuk kelas XII Sekolah Menengah Atas /
Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Grafindo Media Pratama
Supriatna, Nana, dkk. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi) untuk
Kelas IX Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Grafindo Media Pratama
Semarang, 19 September 2016
8.20