Friday, September 30, 2016

Cukup di PHP-in Dosen, Kamu Jangan!



CUKUP DIPHP-IN DOSEN, KAMU JANGAN!

Jargon “cukup di php-in dosen, kamu jangan!” sepertinya cocok untuk hari ini. Sedikit bercerita Jumat, 30 September 2016 tepatnya hari ini, kuhabiskan seharian di kos tanpa menginjakkan kaki ke kampus. Bukannya tak ada kuliah, hanya saja kuliah yang seharusnya dijadwalkan pukul 09.10 WIB ditunda. Karena dosen yang berkewajiban mengisi kelas berhalangan untuk hadir.
Bukan satu atau dua kali si dosen tiba-tiba membatalkan atau menunda kuliah secara mendadak. Sudah beberapa kali si dosen ini membatalkan perkuliahan. Dan hari ini adalah yang sekian kalinya kuliah ditunda. Kesannya kita sebagai mahasiswa telah di PHP-in dosen. Sampai istilah “Dosen Tukang PHP” melekat dalam benak mahasiswa. Dari situ aku mulai berfikir. Dimana sikap kedidiplinan dari sang dosen? Jelas, dosen sudah pernah merasakan menjadi sebagai mahasiswa, dan kami yang menyandang gelar “mahasiswa” memang belum merasakan bagaimana posisi dan kapasitas menjadi dosen.
Harusnya dosen dapat mencontoh semangat mahasiswa dalam perkuliahan. Kami yang mahasiswa jauh-jauh dari pelosok negeri rela hidup jauh dari keluarga demi mendapatkan ilmu dari ibu/bapak dosen. Kami selalu berusaha hadir tepat waktu. Setidaknya setengah jam sebelum kuliah dimulai kami sudah berada di kampus hanya untuk mendapatkan ilmu. Namun apa  impact yang didapatkan? Yang ada malah harapan palsu dan memubazirkan waktu yang ada. Mungkin kalian (dosen.red) tidak tahu bagaimana rasanya diberi harapan palsu dengan membatalkan janji perkuliahan yang telah disepakati. Tetapi, seharusnya kalian sudah tahu lah, toh dosen dulunya juga pernah menjadi mahasiswa, bukan?
Tidakkah terlalu munafik? Jika dosen membuat kontrak kuliah yang disepakati bersama antara mahasiswa dan dosen sebelum perkulian dimulai. Lantas apa yang menjadikan dosen tetap menjadi dosen padahal telah mengkhianati mahasiswanya? Ya, dosen juga manusia. Kami tahu. Namun mahasiswa pun juga manusia. Jadi kini hubungannya manusia dengan manusia. Bukan manusia dengan makhluk lain. Harusnya dosen sadar akan kewajibannya bukan malah menyalahgunakan posisi sebagai dosen dengan seenaknya membatalkan janji yang telah disepakati sesuai dengan jadwal dan kontrak kuliah.
Sudah seharusnya dosen berlaku disiplin melaksanakan  tata tertib perkuliahan terutama pon ke-1 “wajib hadir tepat waktu”. Terlepas dari dosen yang selalu tepat waktu, nyatanya ada saja dosen yang selalu telat. Bahkan pernah juga dosen yang sampai ditunggu mahsiswa hingga satu jam lebih lamanya. Disamping mengurangi jam perkuliahan, juga menjadikan waktu tunggu mahasiswa mubazir.
Lain halnya dengan mahasiswa yang dituntut untuk selalu tepat waktu, karena kami mahasiswa sadar akan pentingnya nilai kedisiplinan. Karena cuma 15 menit batas waktu toleran kami untuk telat.
Teruntuk ibu/bapak dosen yang terhormat, kami mohon dengan sangat berlakulah disiplin. Kami sudah terlalu sering kena PHP (dari gebetan/pacar). Jadi kami harap jangan menambah beban pikiran kami dengan membuat janji palsu. Kalaupun diluar batas kalian (dosen.red) untuk berhalangan hadir. Setidaknya beritahu kami satu atau dua jam sebelumnya jika kalian tidak dapat hadir. Mohon, jangan memberikan info mendadak. Kasihan mahasiswa yang jauh-jauh dari rumah maupun dari kos ke kampus, kehujanan pula jika pada akhirnya tiba di kampus ternyata kuliah ditunda.

Semarang, 30 September 2016



Sunday, September 18, 2016

Imbas Globalisasi terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat




Imbas Globalisasi terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat




Seiring berkembangnya jaman, muncul istilah revolusi yang mencakup semua bidang yang ada di masyarakat. Revolusi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu (Y. Sri Pujiastuti, dkk. 2006 : 34). Hal tersebut menimbulkan adanya globalisasi. Globalisasi adalah proses mendunia yang dimotivasi oleh kesadaran hidup sebagai masyarakat satu bumi atau satu dunia seolah tidak mengenal batas wilayah. (Yulia Ramawati,dkk. 2011 : 340).
Benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Cina dan India mulai menelusuri negeri lain, baik melalui jalan darat (jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Pada zaman itu, jarak yang jauh antara saru negara dan negara lain menjadi masalah dalam berkomunikasi. Alat komunikasi dan trasnportasi sangat terbatas sehingga hubungan manusia antartiap negara juga terbatas. Perkembangan luar biasa terjadi diawali dengan adanya revolusi industri di Inggris, yang kemudian diikuti perkembangan di bidang-bidang lain, termasuk bidang komunikasi dan transportasi.
Dengan adanya globalisasi mengakibatkan adanya pengaruh perubahan sosial. Pengaruh tersebut dalam bentuk modernisasi dan westernisasi.
Modernisasi adalah proses yang ditempuh untuk sampai atau menuju periose “masa kini” tersebut (Janu Murdiyatmoko : 13). Menurut Soejano Soekanto modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada suatu  perencanaan yang disebut social planning. Salah satu ciri khas yang menandai adanya modernisasi adalah menjamurnya mal-mal dan pusat perbelanjaan sebagai akibat budaya konsumtif masyarakat. Dan jika dulunya untuk menjangkau orang yang berada jauh harus terlebih dahulu mengirimkan pesan menggunakan surat yang cukup memakan waktu yang lama, dengan adanya modernisasi hal itu berubah dengan memerlukan waktu yang singkat dengan menggunakan smartphone atau telepon pintar.
Globalisasi juga menimbulkan sifat kebarat-baratan (westerinisasi) di masyarakat. Westernisasi merupakan proses pengambilalihan unsur budaya Barat tanpa melakukan seleksi. (Nana Supriatna, dkk. 2006).
Globalisasi memiliki dua sisi mata uang (positif dan negatif) yang dapat terindikasikan menjadi penyebab infiltrasi budaya tidak terbendung. Budaya-budaya sedemikian cepat dan mudah saling bertukar tempat dan saling memengaruhi satu sama lain. Termasuk budaya hidup barat yang liberal dan bebas merasuki budaya ketimuran yang lebih cenderung teratur dan terpelihara oleh nilai-nilai agama. 
Dampak negatif dari arus globalisasi yang terlihat miris adalah perubahan yang cenderung mengarah pada krisis moral dan akhlak, sehingga menimbulkan sejumlah permasalahan kompleks melanda negeri ini akibat moral. Dapat di contohkan mulai dari hal kecil seperti anak-anak sekolah yang membolos pada jam pelajaran, sampai dengan korupsi. Serta sangat berpengaruh kaitannya dengan interaksi, budaya dan religiositas masyarakat.

Interaksi Sosial
Hal yang patut mendapat perhatian khusus akibat dari adanya globalisasi adalah memudarnya interaksi antara masyarakat satu dengan yang lainnya. Dewasa kini manusia lebih memilih hidup secara individualis ketimbang hidup bersosial. Dengan beranggapan bahwa mereka dapat hidup sendiri dengan alibi adanya kecanggihan teknologi. Seperti halnya ketika sekelompok orang berkumpul. Fisik mereka memang secara jelas terlihat berada pada satu tempat, namun fikiran dan jiwa mereka terpisah karena mereka terlalu asik dengan gadget mereka dan malah mengabaikan antara satu dengan yang lainnya. Masyarakatt di era 20-an saat ini menjadi manusia merunduk. Mereka lebih memilih memusatkan perhatiannya ke gadget ketimbang berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ada banyak hal yang menunjukkan meredupnya nilai interaksi di masyarakat. Budaya saling sapa pun ketika di jalan seolah terabaikan, karena masyarakat memilih peduli dengan gadgetnya daripada dengan orang disekitarnya.


Budaya
Dengan adanya globalisasi mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai budaya dalam masyrakat. Hal itu tampak jelas dengan munculnya budaya baru fenomena mengunggah foto makanan sebelum disantap dan diunggah ke media sosial seperti instagram, twitter, facebook, path dan sebagainya.
Hal tersebut dapat mengacu pada definisi luas kebudayaan, yaitu seluruh sistem, gagasan, rasa, dan tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 1996). Tak heran jika terlihat beberapa orang di setiap tempat makan atau restoran memfoto makanan ketika baru disajikan ataupun setelah habis dimakan. Fenomena ini mengubah persepsi makanan yang tadinya untuk mengisi perut menjadi obyek yang ingin diperlihatkan kepada publik di ranah media sosial.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 21-23 Oktober 2015 menunjukkan, sebanyak 136 dari 593 responden di 12 kota di Indonesia mengaku pernah mengunggah foto makanan di media sosial. Sebagian besar (67,6 persen) di antaranya perempuan.
Fenomena tersebut sebagai akibat dari adanya globlisasi yang dengan jelas menyebabkan terkikisnya budaya ketimuran masyarakat Indonesia. Jika dulu sebelum makan dianjurkan untuk berdoa terlbih dahulu, lain halnya dengan sekarang rasanya kurang afdol jika belum memfoto makanan sebelum menyantapnya.

Religiositas
Tak hanya itu, baru-baru ini masyarakat sedang digemparkan dengan meroketnya game Pokemon Go yang merupakan permainan berbasis augmented-reality. Permainan tersebut sedang menjadi primadona dikalangan anak muda terlebih lagi para gamers karena berbeda dari game kebanyakan.
Selain menggabungkan objek 3D dengan lokasi di dunia nyata, permainan ini juga mendorong aktivitas fisik pemain. Karena untuk bisa menangkap monster Pokemon, pemain harus bergerak wara-wiri memburunya ke sejumlah lokasi. Di balik popularitasnya, saat ini Pokemon Go masih menuai pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang setuju dengan kehadirannya, namun ada juga yang menolak. Masing-masing memiliki alasan sendiri.
Jika fenomena Pokemon Go serta merta dibiarkan, bisa saja menjelma menjadi problem perkotaan. Yang menjadi kontra akan Pokemon Go adalah masalah religiositas. Karena dalam permainan tersebut ada  beberapa lokasi yang dijadikan Pokestop atau tempat para pemain mendapatkan item seperi Pokeball untuk menangkap Pokemon dan sebagainya. Di Indonesia, Pokestop dimonumentasikan di banyak tempat publik. Menariknya, selain sekolah dan patung/tugu, Pokestop juga berlokasi di rumah ibadah.
Hal tersebut menunjukkan meluruhnya religiositas masyarakat dengan dianggap remehnya norma agama. Serta menimbulkan definisi baru bahwa rumah ibadah bukan hanya sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah namun juga dapat dijadikan sebagai alam permainan. Bukannya beribadah malah menduakan Tuhan dengan permainan ciptaan manusia.

Menyangkut hal tersebut perlu adanya sikap yang harus dimiliki dalam menghadapi globalisasi. Hal tersebut dapat dilakukan  dengan memegang tegung norma agama dan nasionalisme, optimis, memperluas wawasan budaya, menguasai bahasa asing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kecakapan atau kompetensi hidup agar mampu bersaing, mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan supremasi hukum dalam arti yang sebenar-benarnya, dan yang paling penting adalah selektif terhadap pengaruh globalisasi di berbagai bidang.



Referensi :

Kurniawan, Muhammad Irfan. 2014. Pengaruh Globalisasi terhadap Perilaku Pelajar. http://vincentdr.weebly.com/click-here/pengaruh-globalisasi-terhadap-perilaku-pelajar. Diakses pada tanggal 18 Juli 2016

Putra, Yudha Manggala P. 2016. Ini Dampak Positif dan Negatif Pokemon Go. http://trendtek.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/16/07/16/oadbg1284-ini-dampak-positif-dan-negatif-pokemon-g. Diakses pada tanggal 19 Juli 2016

Supriyatno, Udji Kayang Aditya. 2016. Simulakra Pokemon dan Monumentasi Religiositas. Surat kabar Tribun Jateng

Widodo, Dwi Rustiono. 2015. Budaya Unggah Foto Makanan. http://print.kompas.com/baca/2015/11/10/Budaya-Unggah-Foto-Makanan. Diakses pada tanggal 19 Juli 2016

Pujiastuti, Y. Sri., dkk.  2007.  IPS Terpadu 3A untuk SMP dan Mts kelas IX Semester 1.2006 Jakarta: PT. Erlangga

Darmawaty, Yulia, dan Achmad Djamil.  2011.  Buku Saku Sosiologi SMA. Jakarta:   PT. Kawan Pustaka

Murdiyatmoko, Janu. Sosiologi : Memahami dan Mengkaji Masyarakat untuk kelas XII Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Grafindo Media Pratama

Supriatna, Nana, dkk. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi) untuk Kelas IX Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Grafindo Media Pratama



Semarang, 19 September 2016
8.20