Hitam Putih Tinggal kenangan
Mendengar
kata Hitam Putih, apa yang terlintas
dibenak kita? Suatu program talkshow yang pembawa acaranya sedang bersitegang
dengan sang motivator? Atau sebuah garis yang sering kita temui dijalan?.
Hitam dan putih memang tak kan ada habisnya untuk dibicarakan. Seperti halnya belum lama ini
santer terdengar tentang kebijakan menanggalkan seragam hitam putih di
lingkungan kampus Universitas PGRI Semarang. Memang, sebelumnya kebijakan
tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Banyak dari
mahasiswa setuju akan kebijakan tersebut namun ada pula yang menolak kebijakan tersebut. Sebetulnya,
rumor penghapusan kebijakan pemakaian seragam hitam putih sudah menggema sejak
awal semester tahun ajaran 2016/2017. Kendati demikian, baru belakangan ini
seragam hitam putih kembali memantik animo mahasiswa Universitas PGRI Semarang.
Mulai
pertanggal 24 Oktober 2016, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas PGRI
Semarang resmi mengeluarkan surat edaran yang menyatakan seragam hitam putih
tak perlu dikenakan lagi oleh mahasiswa FIP, khususnya mahasiswa Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Sembilan dari sepuluh mahasiswa sangat menyayangkan tentang adanya penghapusan kebijakan pemakaian seragam hitam putih. Saya pun juga sangat menyayangkan hal tersebut. Awalnya ketika masih menyandang predikat sebagai mahasiswa baru (Maba), saya sama sekali tak setuju dengan adanya kebijakan untuk memakai pakaian seragam hitam putih yang wajib dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa kebijakan tesebut tak perlu dihapuskan. Alasannya, karena jika hitam putih dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu dalam seminggu setidaknya dapat menghemat baju yang dikenakan. Maklum, anak kos serba hemat termasuk juga dalam menyuci baju. Kedua, jika kebijakan tersebut tetap dihapuskan maka akan menimbulkan masalah ketimpangan sosial. Diterangai akan memunculkan batas-batas pemisah antara mahasiswa ekonomi kelas menenengah dan atas. Juga akan cepat menimbulkan perubahan fashion style culture secara cepat. Entah apa yang mendasari pihak universitas menghapuskan kebijakan pemakaian seragam hitam putih.
Sembilan dari sepuluh mahasiswa sangat menyayangkan tentang adanya penghapusan kebijakan pemakaian seragam hitam putih. Saya pun juga sangat menyayangkan hal tersebut. Awalnya ketika masih menyandang predikat sebagai mahasiswa baru (Maba), saya sama sekali tak setuju dengan adanya kebijakan untuk memakai pakaian seragam hitam putih yang wajib dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa kebijakan tesebut tak perlu dihapuskan. Alasannya, karena jika hitam putih dikenakan setiap hari Selasa dan Rabu dalam seminggu setidaknya dapat menghemat baju yang dikenakan. Maklum, anak kos serba hemat termasuk juga dalam menyuci baju. Kedua, jika kebijakan tersebut tetap dihapuskan maka akan menimbulkan masalah ketimpangan sosial. Diterangai akan memunculkan batas-batas pemisah antara mahasiswa ekonomi kelas menenengah dan atas. Juga akan cepat menimbulkan perubahan fashion style culture secara cepat. Entah apa yang mendasari pihak universitas menghapuskan kebijakan pemakaian seragam hitam putih.
Kalau
ada yang mengatakan intelektualitas tak dipengaruhi dengan penampilan. Iya
memang benar. Karena penampilan hanya sebagai formalitas saja. Namun sangat
disayangkan, membiarkan seragam hitam putih terlipat begitu saja di almari.
Sependapat
dengan Kepala UPT Pusat Humas di salah
satu Universitas tetangga sebelah, beliau menyatakan bahwa "Pengekangan tidak selalu terjadi
melalui seragam. Pengekangan lebih bisa terjadi pada ‘baju bebas’. Terbentuknya
grup-grup sosio-ekonomik yang kurang menguntungkan dapat terbentuk dengan
identifikasi pakaian bebas yang dipakai mahasiswa. Yang berpakaian ‘glamor’
akan berkumpul dengan yang glamor. Yang berpakaian ‘bersahaja’ hanya akan
berkumpul dengan yang bersahaja. Semua itu dapat dicegah dengan seragam yang
diterapkan dengan peraturan yang konsisten dan sangat mudah dilaksanakan".
Maka seharusnya pihak Universitas dapat lebih bijak lagi dalam pengambilan
keputusan. Karena sudah seharusnya Universitas keguruan dalam menyiapkan calon
guru mesti membudayakan berdisiplin,
riilnya dengan seragam hitam-putih tadi.
Sebagai alasan seragam adalah simbol
kesetaraan. Selama pelaksanaannya diatur dengan baik dan diterapkan secara
konsisten, dengan adanya seragam menjadi pemersatu persahabatan mahasiswa. Yang tersisa dari hitam putih tinggallah
kisah yang melekat dalam kenangan. Kini hitam putih pun tlah menjadi kenangan.
NB : Tulisan ini
bukan semata untuk merendahkan salah satu pihak. Saya menulis atas dasar apa
yang saya lihat, rasakan, dan dengar. Jika ada yang tersinggung dengan tulisan
saya silakan lebih lanjut menghubungi saya. Terimakasih.
Semarang, 26 Oktober 2016