Tuesday, March 16, 2021

KEHIDUPAN DI RANTAU

 Tak terasa hampir dua tahun berlalu, meninggalkan kota yang penuh kenangan. Kota yang di mana banyak menyimpan sederet kisahku mulai dari yang sedih, tangis, tragis, susah, sekarat, senang, bahagia, dan sampai menjadi manusia bucin sudah terlewati. Agustus 2015 menjadi permulaan kisahku hidup di rantau, Semarang. Kali pertama harus hidup mandiri jauh dari orang tua, dan harus bisa mengurus keperluan hidup sendiri. 

Awal semester pertama hidup sendiri di kos agak sulit bagiku untuk menyesuaikan dan beradaptasi. Terlebih di saat aku belajar untuk beradaptasi dan menyesuaikan hidup, aku harus dihadapkan pada kondisi yang memaksaku untuk belajar mengikhlaskan seikhlas-ikhlasnya, untuk tidak berharap kepada manusia dan belajar untuk tidak mudah percaya kepada orang lain.

Semester pertama aku cukup kesulitan dalam menyesuaikan hidup secara mandiri mulai dari susahnya mencari makan, susahnya mencari kos yang cocok hingga susahnya transpot dari kos menuju kampus karena di awal semester aku belum berani membawa kendaraan pribadi. Di semester awal pun aku sudah berpindah kos sebanyak tiga kali. Pertama di Krakatau, kedua di Hawa dan ketiga kalinya di Pancakarya. Aku bukanlah tipe orang yang dengan mudahnya beradaptasi dengan orang lain terlebih berbagi kehidupan dengan orang lain. Kos pertama di Krakatau, sekamar berdua membuatku tidak nyaman. Di samping teman kosku yang selalu meminjam barang dan memakai barangku tanpa seizin dariku juga karena aku tidak bisa berkosentrasi belajar jika sewaktu mengerjakan tugas teman sekamar dengan seenaknya malah berisik sendiri. Kedua pindah ke Halmahera untuk sementara waktu hingga menemukan kos yang satu kamar satu orang. Setelah satu bulan di Halmahera aku pindah ke Pancakarya.

Alhamdullillah untuk di kos ketiga Pancakarya sekamar satu orang, dipertemukan dengan teman-teman kos yang baik. Dan bahkan masih berkomunikasi hingga saat ini. Salah satunya yang biasa ku panggil Tante Dea. Satu setengah tahun bertahan di kos Pancakarya. Sampai pada akhirnya November 2017 penghuni kos tidak tahan dengan kebijakan kenaikan tarif kos perbulannya dan setengah dari total penghuni kos memutuskan untuk pindah kos. Hingga tersisa empat orang termasuk aku di lantai 2. Horornya bukan main suasananya ditinggal penghuninya pindah. Satu bulan kemudian teman yang berada di lantai 2 juga memutuskan untuk pindah dan  akhirnya aku juga pindah.

Setelah beberapa kali hidup nomaden berpindah-pindah dan merepotkan mamasku buat pindahan barang akhirnya aku menemukan kos yang bener-bener nyaman di kos terakhir dan paling terlama, di Halmahera. Total selama kuliah aku sudah berpindah kos sebanyak empat kali.

Awal Desember 2017 aku pindah ke kos Halmahera. Hanya ada sembilan kamar. Satu kamar satu orang. Para penghuninya sudah seperti keluarga walaupun kadang timbul pertikaan dan percekcokan di antara teman-teman kos dari masalah sepele hingga masalah besar. Selama kuliah aku jarang sekali berada di kos. Mengingat aku aktif di dua organisasi sebagai sekretaris BEM Fakultas dan bendahara LPM Vokal. Hal itu membuatku pulang ke kos hanya untuk numpang mandi, makan dan sisanya beberapa jam untuk tidur. Namun di akhir Desember 2017 ku putuskan untuk berhenti mengabdi di BEM Fakultas dan LPM Vokal.

Kehidupanku sebagai mahasiswa bisa dikatakan sama dengan rata-rata kehidupan mahasiswa lainnya. Namun, yang sedikit membedakan aku adalah mahasiswa tipe kaum rebahan yang banyak overthingkingnya. Memasuki semester kedua di 2016 aku menargetkan beberapa hal yang harus aku capai dalam waktu setahun. Namun itu malah membuatku semakin tertekan dan terbebani dengan semua targetku ditambah dengan aku harus melewati masa-masa sulit untuk mengikhlaskan dan menerima kenyataan.

Di semester ketiga masih di November 2016 ketika aku memutuskan untuk mendaftar sebagai panitia Panwaslu membuatku bertekad untuk dapat lebih menguasai publich speaking lagi karena melihat kakak tingkat yang dengan wibawanya dalam menyampaikan pendapat dan berdebat dalam salah satu kasus di PEMIRA 2016. Dari pengalaman menjadi Panwaslu sekelas PEMIRA Universitas membuat mataku terbuka lebar bahwa politik sangatlah licik. Di mana yang lemah akan kalah, dan yang licik akan menang. Ada beberapa situasi menegangkan terlebih lagi pada saat malam final perhitungan suara. Entahlah aku juga bingung kenapa bisa sampai ada kejadian huru hara di malam itu karena yang pasti ada ikut campur salah satu organisa eksternal kampus yang masing-masing membentengi para calon Presma dan Wapresma.

Kesibukanku sewaktu kuliah selain aktif di BEM Fakultas dan LPM Vokal juga sibuk kuliah, mengerjakan tugas kuliah, dan kadang beberapa kali mengikuti seminar ataupun workshop seperti mahasiswa lainnya. Suatu ketika di 24 September 2017 aku mengikuti LDKTI yang diselenggarakan oleh HIMA Prodi. Banyak ilmu yang aku peroleh dari acara tersebut yang vibesnya masih ke pake sampai sekarang ini. Di satu sesi pemateri pernah mengatakan bahwa “menulis dapat meringankan kesemrawutan pikiran, kegundahan hati dan dapat menimbulkan kepuasan batin.” Dan itu benar sekali. Dengan menulis kita dapat menyalurkan dan mengurai pikiran kita, apalagi seperti aku tipe orang yang overthingking.

Beberapa waktu setelah dari acara itu aku mencoba mengirimkan tulisanku ke surat kabar harian Kompas yang sebelumnya sudah menjadi targetku di tahun 2017. Dan pada akhirnya di bulan Oktober 2017 bertepatan dengan wisudanya salah satu anggota LPM Vokal aku dikejutkan dengan share an di grup LPM Vokal yang mengabarkan bahwa tulisanku lolos termuat di Koran Kompas Nasional. Alhamdulillah bersyukur banget senangnya bukan main sampai terharu.  Masih di bulan Oktober aku juga mengikuti seleksi pemilihan Ayah Bunda PGSD mewakili kelas sampai ke tahap dua dan akhirnya gugur di sesi photoshot. Sudah kuduga. Dan di bulan ini benar-benar sibuk dalam mengurusi persiapan acara besarnya BEM Fakultas yang kudu bolak balik ke Dinas Pendidikan Jawa Tengah. Saat itu aku sedikit merasa tertekan dengan masalah persiapan acara besarnya BEM Fakultas, organisasi dan tugas kuliah. Ditambah lagi di akhir kepengurusan 2017 aku terbebani dengan segera harus merampungkan LPJ BEM Fakultas sebagai sekretaris  dan LPJ LPM Vokal sebagai bendahara.

Sebulan kemudian di November 2017 aku masih saja disibukkan dengan kegiatan organisasi dan kegiatan persiapan acara kelas di tingkat prodi. Masih di acara besarnya BEM Fakultas aku menjadi MC. Di akhir 2017, Desember pada Mubes LPM Vokal 2017 aku berpamitan untuk tidak melanjutkan ke periode selanjutnya dan pada Konferensi BEM Fakultas aku juga tidak melanjutkan ke periode berikutnya. 

Di akhir 2017 memang menjadi waktu yang paling menguras tenaga, pikiran dan emosi. Pernah sewaktu latihan untuk pagelaran seni musik PGSD aku berdebat dengan salah satu teman kelas yang naudzubillah dengan wataknya. Jauh-jauh hari aku sudah izin ke forum kelas untuk tidak berangkat karena akan mengikuti Konferensi BEM Fakultas, dan itu disetujui. Namun, pada waktu mendekati Konferensi BEM Fakultas ada satu orang yang dengan ngototnya membuat kebijakan dengan menerapkan denda bagi yang tidak berangkat latihan musik. Di saat itu aku benar-benar merasa sendiri untuk speak up tentang kebijakan yang semena-mena dibuatnya tentang masalah denda karena teman-temanku tidak berani untuk menyanggah omongannya. Tidak ada satupun yang berusaha untuk membantuku dalam menyanggah omongannya. Dan pada akhirnya aku dan beberapa temanku yang juga izin mengalah menerima keputusan untuk denda. Aku anggap itu sebagai sedekahku. Di bulan yang sama pun orang yang sama juga berdebat dengan orang yang sama-sama memiliki watak keras di kelas. Entahlah kenapa aku bisa berada di kelas yang dipenuhi dengan orang-orang yang berego tinggi dan tak mau dikalahkan.

Masih dalam masa latihan pagelaran musik ada suatu kejadian di mana teman yang pernah berdebat tiba-tiba membuat heboh satu kelas karena dramanya. Ada hikmah dari kejadian tersebut. Apa yang ditanam pasti akan dituai. Karma itu berlaku. Sesama teman jangan sejahat itu sampai dibantai habis ketika beropini, usul pendapat dan musyawarah. Karena teman adalah orang yang paling dekat di rantau dibanding keluarga di rumah. Jadi, apa-apa yang pertama kali membantu di rantau ketika sedang berada di posisi darurat pastilah teman, kedua baru keluarga.

Memang karma itu berlaku juga pada orang-orang yang di awal semester pernah membuatku untuk belajar mengikhlaskan seikhlas-ikhlasnya atas apa yang terjadi di awal semester dan di pertengahan semester. Sekarang mereka tidak mendapatkan apa yang diinginkan dan diperjuangkannya setelah membuat aku mengikhlaskan segala hal atas apa yang terjadi. Mungkin mereka mengalami dan merasakan dua kali lipatnya dengan apa yang pernah aku alami dulu. Memang benar Allah itu maha adil, dan karma cepat atau lambat berlaku.

 

Demak, 16 Maret 2021

 

No comments:

Post a Comment